Sandal
Jepit
Sejuta rasa itu memang indah
Yang kini tinggal usapan peluh dan pening
saat kuingat
Saat keringat mulai bercucur deras
Untukmu, untuk bendera yang kau kibarkan
Gelegar petir menyambar ditengah awan
kelabu
Secepat itukah engkau
Membuat semua sirna sekejap mata
Tuan besar
Masihkah aku harus mengingat
Kelabu dunia malam, saat mereka mulai
mencaci
Membual sejuta dalih menjadi tuli
Deritaku yang dekat, awan panas tak lagi sampai
engkau yang jauh
Tuan,
Aku memang kecil
Tiada peka maupun iba
Tak pernah sejajar saat melangkah
Ah sudahlah,
Aku mungkin memang sandal jepitmu yang
sempat kau ambil dari warung reyot untuk
larisan
Ya, aku memang sandal jepitmu
Tak pernah kau lihat atau kau rawat
Hanya kau sikat saat kau sempat
Tapi kapan? Kapan?
Aku memang sandal jepitmu
Hilang martabat saat kau tak lagi berpijak
Ingatkah tuan, aku bukan sandal jepitmu
Pelindung kakimu yang mulai keriput
Tetap membisu dalam setiap langkah benar
dan salahmu
Bau itu tak pernah kau rasa
Karena indah matamu jauh diatas
Mungkin karena kau tak pernah merasa keras
dan panasnya aspal yang kurasa ditengah mentari tepat di ujung kepalamu
Aku bukan sandal jepitmu yang terus membisu
Menahan rasa saat kita berbeda
Untuk menjaga benderamu terus berkibar.
Aku bukan sandal jepitmu
Laksana kau tukar di depan masjid kampungmu
Tetap membisu, tanpa tahu entah niat busuk
atau hanya sekedar khilafmu
Menepi dan sepi untukmu yang selalu benar
Dalihmu terlalu indah untuk dilupakan
Aku bukan sandal jepitmu
Yang hanya diam dalam langkah khilafmu
Aku bukan sandal jepitmu
Aku malu pada diriku sendiri,
Serasa lebih berharga mereka yang terus
menggonggong
Daripadaku yang tak mampu bersuara dan tak
pernah kau ajak bicara
Karenaku sandal jepit yang usang dan
terbuang
Cukup, jika aku sandal jepitmu
Aku berhenti
Berhenti untuk mensejajarkan diri
Tanpa dendam dan luka dalam jiwa
Aku bukan sandal jepitmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar